Sabtu, 24 April 2010

MENGINTIP GEMPA#3

Tidak hanya teori, bahkan pengamatan menggunakan satelit
Pak Djedi memberikan dongengan selukbeluk studi gelombang Electro Magnetic (EM). Prediksi gempa tidak pernah dilakukan hanya berdasarkan pada teori, karena teori prediksi gempa ‘belum pernah tersedia’ sampai hari ini, atau ia sedang ‘dibangun’ oleh banyak ahli di dunia. Mnurut Pak Djedi, yang kami (termasuk LIPI-rdp) lakukan saat ini (secara kolaborasi antara Jepang, Rusia, Taiwan, Perancis, India, Cina, US, dll. dan Indonesia juga) adalah melakukan observasi di hampir seluruh wilayah tektonik aktif di dunia oleh masing-masing negara tersebut.
Ngintip dari luar angkasa
Bermacam metode observasi dilakukan sesuai dengan kemampuan (ekonomi dan SDM) negara masing-masing. Perancis pasang DEMETER yang khusus untuk studi medan EM yang berasosiasi dgn gempa lewat satelit (2004), Jepang pasang ALOS (multi-fungsi, 2006), Taiwan punya FORMOSAT (multi-fungsi), dsbnya. Itu semuanya via satelit.
DEMETER adalah satelit khusus diluncurkan oleh Perancis ini bertujuan untuk :
• Mempelajari gangguan ionospheric yang berhubungan dengan aktifitas seismik
• Mempelajari gangguan ionospher yang berhubungan dengan aktifitas manusia
• Mempelari efek yang ada pada ionosfer sebelum dan sesudah terjadinya gempa
• Memberikan kontribusi pada pemahaman mekanisme timbulnya gangguan itu
• Memberikan informasi global padalingkungan elektromagnetik bumi dari satelit
Nengok dan ngukur langsung dari permukaan
Studi ‘ground-based EM monitoring’ sudah dilakukan di banyak negara, termasuk Indonesia. Indonesia, melalui kerjasama (baca: bantuan) dgn Jepang, memasang sistem ultra-low frequency EM/Magnetic monitoring di Kototabang (Sumbar), Pelabuhanratu (Jabar), Kotabumi (Lampung, Maret 2008 nanti), Biak, Kupang, Pare-pare, Menado. Sementara itu, untuk very-low frequency (VLF) EM monitoring, kami pasang di Stasiun BMG Lembang.
Bahkan dalam waktu 5 tahun ke depan, Tim Jepang bekerjasama dgn BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika) akan memasang beberapa magnetometer di sepanjang katulistiwa. Riset prediksi gempa dgn mempelajari fenomena medan EM ini dilakukan secara multi-disiplin (solid state physics, space physics, rock physics, geophysics, electronics, statistics, dll) dan multi-scale (mulai dari perconto batuan yang kecil, lalu kerak bumi, menerus ke atmosfer, dan naik sampai ionosfer). Semua itu dikenal dengan seismo-electromagnetics phenomena in the lithosphere-atmosphere-ionosphere coupling. Dalam arti praktis, kami tidak pernah ‘meramal’ kedatangan sebuah gempa, hanya dengan pengamatan medan EM tersebut.
Pak Djedi dan kawan-kawan, hanya melakukan sesuatu yang lebih kepada ’scientific evaluation’ dari fenomena tersebut, yang hilirnya adalah tentu saja membangun konsep yang dapat dimanfaatkan secara praktis.
Kapan itu akan selesai?
Kata Pak Djedi “No body knows! Gak ono sing ngerti, kapan pekerjaan iki iso rampung. Lha wong ndak gampang iku Cak. Kalo sampeyan mau ikutan kita-kita sebentar dan mau banyak baca publikasi riset kami (dalam kacamata seorang pembaca keilmuan yang bijak), tentu sampeyan bisa ‘ngeh’ pada apa yang kami lakukan“. [Tidak ada yang tahu, kapan pekerjaan ini bisa selesei. Soalnya tidak mudah. Kalau anda bersedia ikutan sebentar saja dan membaca hasil penelitiannya, tentunya harus dibaca dengan kacamata keilmuan. Semestinya anda akan mengerti apa yang telah dilakukan].
Disebelah ini foto Pak Djedi dan Pak Grandis bersama crew-nya sedang beraksi di lapangan.
Hanya ‘dua’ orang Indonesia yang ber-hobby di bidang ini (Dr. Sarmoko Saroso, LAPAN Bandung dan Dr. Djedi S. Widarto, Chairman, LIPI). Pak Djedi mengatakan ini hobby, karena beliau semata sangat suka berteman dengan orang-orang (peneliti) dari negara lain yang berpikiran jauh lebih terbuka dan bijak. Lanjut beliau “Wah, kalau sampeyan pada November 2007 lalu bisa ikutan IWSEP2007 di LAPAN Bandung, mungkin sampeyan akan menyadari bahwa ‘riset’ prediksi gempa itu memang kompleks secara fisis, mekanis dan matematis (statistik)“.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar