Sabtu, 24 April 2010

MENGINTIP GEMPA#2

Walaupun sudah tahu bahwa gempa itu tidak membunuh tetapi bangunan buruklah yang membunuh, tapi syapa sih yang tidak takut gempa ?. Dan ketakutan ini bersumber dari banyak hal tentunya, bisa karena takut kehilangan, takut sakit, takut mati dll. Namun ketakutan sendiri dapat berasal dari ketidak-tahuan atau juga takut karena memang tahu.
“Duh Pakdhe, ndak usah pilosopis gitu, jadi sebenarnya gempa itu bisa diramal ngga sih ?
Meramal atau lebih enaknya disebut prediksi, khususnya untuk prediksi gempa ada tiga aspek harus ada. Ketiga aspek itu adalah sebagai berikut :
• Dimana tempatnya. Mencakup area yang cukup sempit
• Seberapa besar kekuatannya. Dalam skala gempa tertentu
• Kapan terjadinya. Dalam rentang waktu yang memadai
Ketiga aspek ini harus secara spesifik terpenuhi. Sehingga kalau ada yang mengatakan dalam bulan depan akan ada gempa di Jawa dengan kekuatan diatas 3 SR …. itu si Gemblung Thole aja juga bisa

Kalau kita belajar ilmu biologi tentunya ada ilmu taksonomi, nah kalau peramalan kita juga tentunya bisa juga mencoba dengan membagi-bagi supaya mudah dimengerti ya.
Peramalan gempa :
1. Non ilmiah
Misalnya ramalan dukun atau psychic. Metode mboh aku ngga tahu tetapi yang jelas ada yang mencoba meramal dan memberitahukan ke orang lain. Keakurasian dan lainnya silahkan disimak sendiri
2. Semi ilmiah
Ini seringkali berhubungan dengan perilaku alam yang aneh. Misal binatang yang dikatakan punya indera khusus. Namun lucunya kenapa tidak terjadi pada gempa susulan. Bukankah gempa susulan juga memiliki mekanisme yang sama ? hanya ukuran kekuatannya lebih kecil.
3. Ilmiah
Ciri khas dari metode ilmiah ini adalah dapat dipelajari oleh siapa saja. Apabila memerlukan alat, maka alat tersebut semestinya dapat di’indera’ oleh siapa saja, misal pengukuran dengan meteran atau alat ukur. Berdasarkan pengukuran serta metode fisis (parameter fisika).
Wah untuk yang nomer satu dan nomer dua silahkan ditanyakan ke yang bersangkutan. Barangkali metode-metodenya justru lebih canggih ya silahkan saja memakai dua metode paling atas itu. Tapi kita coba melihat satu sisi termudah saja yaitu dengan cara ilmiah.

Complex vs Complicated
Kompleks (mencakup banyak aspek) atau komplikated (membingungkan).
Kejadian gempa apabila diplot dalam skala waktu digambarkan secara sederhana seperti disamping ini. Gempa yang sederhana akan mengalami perulangan dalam selang waktu yang konstant. Menurut Kanamori dan Brodsky (2001), gempa yang sederhana (simple) merupakan perulangan penumpukan regangan (stress) yang apabila melampaui kekuatan penahannya maka akan terjadi pelepasan regangan dalam bentuk gempa. Segera setelah gempa regangannya turun. Namun karena gerakan tektonik yang menyebabkannya masih terus berjalan, maka gempa akan terus-menerus terjadi secara berulang. Apabila semuanya sederhana saja, maka kekuatannya juga tetap, pemicunya hanyalah akibat kekuatan penahannya yang selalu saja sama. Predisksinya tentunya mudah, kita hanya memerlukan pengukuran secara berulang-ulang secara sequential atau kronologis saja.

Sekarang seandainya kekuatannya berubah-ubah sepanjang masa, misalnya yang satu masih ada gunung apinya, namun berikutnya gunung apinya tidur. Sehingga gangguan-gangguan aktifitas gunungapinya tidak ada. Juga seandainya suatu saat batuan penahannya hancur oleh gempa sebelumnya, maka kekuatan penahannya juga berubah segera setelah gempa terjadi.

Untuk satu segment gempa saja, barangkali model diatas dapat diamati seandainya semua faktor-faktor itu terukur. Misal kekuatan regangannya diketahui dengan GPS, kecepatan plate tektoniknya diketahui, juga jenis batuannya diketahui oleh geologist.

Namun yang mungkin paling sederhana dari model gempa hanyalah seperti yang disebelah kiri ini. Yaitu gabungan beberapa segment yang saling berdampingan dengan memilki karakter yang sama. Model inipun sangat jarang dijumpai di alam. Bayangkan saja seandainya ada bulan yang kita tahu dapat menjadi salah satu trigger dalam terlepasnya stress ini.

Lewis menggambarkan bagaimana interaksi lokal, dalam hal ini faktor-faktor yang ada dalam segment itu sendiri dan sekitarnya. Sedangkan secara global terjadi interaksi yang terus berkembang dan berubah-ubah. Bayangkan saja kalau rumus yang sudah diketemukan harus diubah karena misalnya seperti yang kita tahu saat ini sedang terjadi pemanasan global.
Jadi kita sekarang mengetahui bahwa terjadinya gempa itu tidak sederhana. Sangat kompleks bahkan sangat membingungkan, ini berdasarkan pengetahuan manusia hingga kini. Ingat ya, ilmu plate tektonik itu juga baru diketahui limapuluh tahun yang lalu. Sebelumnya, ya tentusaja presiden Amerika-pun bingung dengan kejadian gempa. Tapi manusia terus saja berusaha “meramal” atau mempredisksi kapan gempa itu “akan” terjadi.
Secara ilmiah ada beberapa metode peramalan gempa antara lain :
• Data historis gempa masa lalu. Historical data (Statistical or cyclical analysis)
Ini cara paling mudah untuk sebuah kejadian yang sering terjadi dan diyakini akibat sebuah siklus. Seringkali kita mendengar adanya hujan lima tahunan, banjir seratus tahunan dsb. Demikian juga dengan gempa. Namun gempa ini sangat unik karena fenomena “triggering”nya selain faktor perubahan yang smooth berupa penumpukan tenaga juga ada faktor pemicu yang bersifat mendadak. Usaha lain adalah dengan metode fraktal. Cara ini dhulu pernah dilakukan oleh Dr Sigit Sukmono (dari ITB) yang mengamati karakteristik fraktal dari sesar Sumatra dan memprediksikan gempa. Cara Pak Sigit pernah dianggap mendekati kebenaran ketika memprediksi gempa di Sumatra tahun 2000.
Secara mudah metode ini melihat “perulangan” gempa. Banyak sekali metodenya. Namun salah satu kendala adalah catatan gempa yang dimiliki manusia ini hanyalah catatan sejak 1960. Dimana pencatatan sudah mulai dilakukan untuk lokasi, kedalaman, serta besaran kekuatannya. Sebelum itu catatannya tidak lengkap. Misal gempa tahun 1867 yang merusak Taman Sari diselatan Jogja itu diperkirakan berkekuatan 8 MW, tetapi kita tidak tahu dimana pusat gempanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar